SIFAT KEMANUSIAAN PARA NABI: PELAJARAN AGUNG DARI ALLAH TENTANG FITRAH MANUSIA
SIFAT KEMANUSIAAN PARA NABI:
PELAJARAN AGUNG DARI ALLAH TENTANG FITRAH MANUSIA
Ada kalanya Allah menyingkapkan hikmah besar melalui kejadian yang tampak sepele—seperti buah yang terlihat sempurna di permukaan, namun rapuh di bagian dalam. Begitu pula Allah menyingkapkan pelajaran yang lebih agung: bahwa para Nabi dan Rasul adalah manusia. Bukan malaikat, bukan makhluk cahaya yang terbebas dari rasa sakit, tetapi sosok yang menjalani seluruh rupa kemanusiaan.
Agar kita tidak mengkultuskan mereka, dan agar ajaran mereka dapat kita tiru, bukan kita sembah.
Al-Qur’an berkali-kali menegaskan hal ini. Seakan Allah berpesan:
Jangan anggap para Nabi terlalu tinggi hingga engkau merasa tidak sanggup meneladani mereka.
Namun jangan pula merendahkan dirimu hingga engkau merasa mustahil berjalan di jejak akhlak mereka.
1. Para Nabi Merasakan Lapar, Haus, Letih, dan Sakit
Al-Qur’an menegaskan bahwa para Rasul adalah manusia yang makan, minum, berjalan, dan merasakan sakit.
Dalam sebuah ayat ditegaskan bahwa para utusan Allah bukanlah makhluk yang tidak memerlukan makanan, dan mereka pun tidak hidup selamanya di dunia.
Rasulullah pernah mengganjal perutnya dengan batu karena lapar.
Nabi Ayyub menjalani sakit yang panjang, yang meluruhkan kekuatan fisiknya namun tidak memudarkan kejernihan ruhnya.
Nabi Yunus mengalami kelelahan dan kegelapan yang menyesakkan.
Nabi Musa pernah tinggal di negeri asing tanpa rumah, tanpa bekal, dan tanpa kenalan.
Tubuh para Nabi bukanlah tubuh yang kebal.
Melalui itu, Allah ingin menunjukkan bahwa kesempurnaan akhlak tidak memerlukan kesempurnaan fisik.
2. Para Nabi Mengalami Duka, Gelisah, dan Luka Batin
Manusia tidak hanya terdiri dari tubuh. Kita adalah jiwa yang merasakan.
Al-Qur’an menyebut bahwa dada Nabi Muhammad pernah terasa sempit oleh ucapan dan penolakan manusia. Beliau merasakan duka, pernah menangis hingga janggutnya basah, dan pernah terluka oleh hinaan kaumnya.
Kesedihan adalah bagian dari kenabian.
Ia bukan kekurangan, tetapi tanda bahwa hati itu hidup.
Allah ingin kita memahami bahwa merasakan luka bukanlah tanda jauhnya seorang hamba dari Tuhannya.
3. Nabi Muhammad Pernah Mengalami Sihir: Penegasan atas Kemanusiaan Fisik
Sebagian orang enggan membicarakan bahwa Nabi pernah mengalami sihir yang memengaruhi kondisi fisiknya.
Padahal justru di situlah letak pelajarannya: tubuh beliau manusiawi, bisa terserang, bisa menjadi lemah. Namun risalah yang dibawa beliau tetap terjaga, tidak tersentuh oleh apa pun.
Yang terganggu hanyalah fisik, bukan wahyu.
Ini bukan celaan, tetapi penguatan bahwa beliau adalah manusia yang diberi tugas besar.
4. Nabi Ayyub: Penyakit Parah yang Menjadi Jalan Kemuliaan
Doa Nabi Ayyub yang sangat singkat dan lembut disebutkan dalam Al-Qur’an. Beliau tidak meminta kesembuhan karena tidak tahan dengan sakitnya, tetapi karena rindu beribadah seperti sediakala.
Penyakit tidak mengurangi kemuliaan.
Sakit bukan tanda murka Allah.
Kesembuhan adalah urusan waktu, bukan ukuran nilai manusia.
Ayyub mengajarkan bahwa hati bisa tetap bercahaya meski tubuh diliputi luka.
5. Fisik Mereka Manusia, Ruh Mereka Cahaya
Inilah inti pelajaran besar itu.
Para Nabi adalah manusia pada fisiknya, namun memiliki ruh yang dipandu oleh cahaya wahyu.
Tubuh mereka merasakan lapar, haus, nyeri, letih, sakit, dan luka.
Tetapi jiwa mereka memancarkan ketabahan, ketenangan, kesabaran, tawakal, kejernihan, dan petunjuk dari langit.
Dalam diri para Nabi, Allah mempertemukan dua dunia:
kelemahan manusia dan kekuatan iman.
6. Mengapa Allah Menekankan Kemanusiaan Para Nabi?
Jika para Nabi bukan manusia, maka:
-
Kita akan merasa tidak mungkin mengikuti ajaran mereka.
-
Keteladanan mereka terasa jauh dari realitas kehidupan.
-
Manusia akan tergoda untuk mengkultuskan mereka.
Karena itu Allah berfirman bahwa Nabi Muhammad hanyalah manusia seperti kita, hanya saja beliau menerima wahyu.
Dengan ayat itu, Allah seakan menyingkapkan tirai dan berkata:
Jika Rasul mampu sabar, engkau pun mampu.
Jika Rasul mampu bangkit setelah kejatuhan, engkau pun tidak mustahil melakukannya.
Karena kalian sama-sama manusia.
7. Hikmah Besar: Kelemahan Bukan Penghalang Kemuliaan
Dari keletihan tubuh para Nabi, kesedihan mereka, penyakit mereka, hingga ujian yang menimpa fisik mereka—Allah sedang mengajarkan bahwa:
-
Menjadi baik tidak membutuhkan tubuh yang sempurna.
-
Jiwa bisa tetap jernih meski tubuh rapuh.
-
Manusia mulia bukan yang bebas dari derita, tetapi yang tetap menjaga akhlaknya ketika derita datang.
-
Cahaya iman bisa bersinar dari tubuh yang lemah sekalipun.
Para Nabi bukan manusia super.
Mereka adalah manusia yang ditempa, bukan dimanjakan.
Agar kita mengerti bahwa kedekatan dengan Allah tidak diukur dari kuatnya raga, tetapi dari teguhnya jiwa.
Penutup: Meniti Jalan Manusia Menuju Cahaya
Allah menghadirkan kisah para Nabi agar kita tidak merasa sendirian ketika menjalani luka kehidupan.
Jika hari ini tubuh kita sakit, hati kita letih, atau jiwa kita redup, ingatlah:
Para utusan Allah pun pernah merasakannya.
Namun mereka bangkit, bukan dengan kekuatan tubuh, tetapi dengan keberanian hati.
Dan jalan itu terbuka bagi siapa saja yang ingin melangkah menuju cahaya.
(RAYD)



